Selasa, 12 Agustus 2014

Ketika 17 Agustus Hanya Sebuah Lagu

17 Agustus tahun 45
itulah hari kemerdekaan kita..

Setelah Indonesia merdeka, orang-orang akan menyanyikan lagu 17 Agustus dengan antusias. Melafazkan kata demi kata sambil berucap syukur. Semangat membakar jiwa-jiwa patriotisme yang lelah akan penjajahan ratusan tahun lamanya. Itu dulu, sekarang???

Era telah berubah. Manusianya masih sama, namun pemikiran dan tingkah laku telah berpindah haluan. Beberapa hari yang lalu saya mendengar seorang psikolog di salah satu stasiun televisi swasta mengatakan sebagian besar penduduk Indonesia mengalami kejiwaan. Dalam hati saya mengiyakan juga. Saya memang masih waras, namun beberapa orang di luar sana tidak demikian.

Program berita di televisi pun hanya menyiarkan berita yang sama setiap harinya. Kekerasan, penganiayaan, korupsi, dan pembunuhan. Seolah negeri kita ini hanya mengenal empat kata itu. Seolah para alumni sekolahan terbaik tidak pernah menjamah satu kata yang bernama MORALITAS.

Ya, siapa pun yang masih dapat berpikir jernih akan mengangguk setuju atau tertunduk dalam atas krisis yang melanda negeri ini. Perubahan memang diperlukan demi eksistensi sebuah negara. Namun bukan perubahan ke arah negatif yang kami kehendaki.

Pengaruh baik dari dalam maupun luar negeri membuat generasi-generasi muda melupakan aturan yang setengah mati dipertahankan oleh nenek moyang kita. Bukannya merindukan kehidupan zaman primitif, namun penghargaan dan toleransi mulai memudar bahkan hilang tanpa jejak. Anak-anak muda bahkan orang tua menutup mata untuk hal yang satu itu. Bagi mereka, kebahagiaan mereka jauh lebih penting. Apapun akan mereka lakukan.

Zaman boleh berubah, namun kita harus mengingat hakikat manusia sebagai mahluk sosial. Berusahalah untuk menghargai orang lain.

Sabtu, 08 Februari 2014

Don't Stop Fighting!!!





Lama tak bersua.. Tahun telah berganti. Sekarang bulan kedua tahun 2014. Kali ini saya mau menunjukkan foto yang tanpa sengaja saya ambil waktu berlibur ke kabupaten Pangkep. Semut memang ada di semua wilayah (kecuali kutub mungkin ya?!). Tapi yang bikin beda, semutnya lagi berjuang.

Ceritanya, tuh semut lagi nyari makan tapi kejebak sama spider's web di ranting pohon. Makanya sekarang lagi berusaha gimana caranya supaya bisa lepas. Kalau semut itu saja tak kenal kata "NYERAH", maka manusia pun harus begitu. Masa kalah sama semut???! Apa kata Dunia???!

Don't Stop Fighting!!! Apa pun yang terjadi takkan pernah di luar batas kemampuan kita. So, just do your best and let God finishes it!

Selasa, 24 Desember 2013

Ungkapan Bahasa Inggris

“Live and let live.”
Means: Menerima orang lain sebagaimana adanya mereka, walaupun mungkin cara hidup mereka berbeda.
Ex :Let us live and let live.

“Earn a living”
Means: bekerja mencari uang atau nafkah.
Ex : Everybody needs to earn a living to live a decent life.

“Break a Leg”
Means: semoga berhasil
Ex: I know you have an interview tomorrow. Break a leg!

“From scratch”
Means: memulai dari awal, mencapai sesuatu tanpa bermodal banyak.
Ex: He built his company from scratch. Now he’s successful.

“A piece of cake”
Means: sesuatu yang sangat mudah dilakukan.
Ex: The English test was a piece of cake. It took me 15 minutes to do it.

“Blow your own horn”
Means: memamerkan prestasi & kemampuan diri sendiri.
Ex: She never listens. She always blows her own horn.

“Feeling blue”
Means: merasa kurang sehat, terutama berhubungan dengan perasaan sedih & depresi.
Ex: He’s feeling blue after she left.

“An eyesore”
Means: sesuatu yang secara visual terlihat sangat jelek.
Ex: His outfit is such an eyesore. It’s so ugly!

“Like pulling teeth”
Means: situasi di mana sangat sulit mendapat yang kita inginkan dari seseorang.
Ex: Talking to him is like pulling teeth.

“Steal the show”
Means: mencuri perhatian semua orang.
Ex: The band performed really well that they stole the show last night.

“Music to my ears”
Means: perkataan yang sangat ingin kamu dengar.
Ex: His boyfriend’s words are music to her ears.

“take a bow.”
Means: memberi hormat setelah seseorang melakukan sesuatu yang pantas dipuji.
Ex: Great performance. Let’s take a bow!

“outside the box” atau “off the chain”
Means: punya ide yang brilian, original dan tidak biasa.
Ex: His idea is outside the box.

"let bygones be bygones"
Means: yang berlalu biarlah berlalu
Ex: Let the the story bygones be bygones

"All Ears"
Means: Siap/mau mendengarkan.
Ex: Tell about him. I’m all ears.

"Lend me a hand"
Means: membantuku.
Ex: Would you lend me a hand?

"Write off"
Means: menghapus
Ex: Don't write me off just yet!

"I don’t give a damn"
Means: aku tidak peduli.
Ex : For those problems, I don’t give a damn.

’rock the ground’
means: do our best
Ex:  Don't worry, just rock the ground!!!



"big deal"

means: masalah besar
Ex: Ouch, that's a big deal.

Sumber: http://rumahbelajarbali.wordpress.com

Jumat, 20 Desember 2013

Sandiwara Jalan Raya

Pernahkah kalian terjebak oleh macetnya kendaraan pada perempatan lampu lalu lintas? Tentu pernah bagi penduduk yang tinggal kota-kota besar. Bukan macet atau banyaknya kendaraan yang menjadi soal kali ini, melainkan beberapa pasang mata yang mendekati kendaraan dan menyuguhkan wajah memelas. Ya, mereka adalah para aktor dan aktris sandiwara jalanan.
Beberapa orang mungkin akan merasa iba, merogoh beberapa lembar ribuan dan menyodorkannya pada sang aktor/aktris. Para penata rias pasti heran dengan polesan wajah mereka yang begitu sempurna. Pun dengan penata busana yang akan mengiyakan betapa profesionalnya mereka. Sempurna untuk wajah seorang pengemis, tanpa uang dan rumah. Siapa sangka, dibalik penampilan itu ada gaya mewah yang tersembunyi.
Tak ada yang pernah berpikir sebelumnya, jika seorang pengemis berpakaian lusuh dan compang-camping memiliki sebuah Blackberry atau Avansa. Seorang ibu-ibu pernah menemukan pengemis yang pernah dia beri lembaran ribuan sedang asyik memainkan sebuah ponsel touchscreen di depan sebuah minimarket. Bayangkan saja, ibu-ibu yang memberikan uang tersebut bahkan belum mampu membeli ponsel secanggih yang dimainkan oleh si pengemis. Sungguh ironi, bukankah ini sebuah bentuk penipuan???
Sebagai mahluk sosial, bukanlah hal yang wajar jika harus menghukum pengemis. Mungkin tidak semua dari mereka yang melakukan aksi tersebut. Tapi bukankah nila setitik dapat merusak susu sebelanga?! Satu yang melakukan, tak akan ada yang kepercayaan untuk semuanya.
Dewasa ini, jumlah pengemis kian meningkat. Di perempatan lampu merah tidak hanya satu yang berdiri menunggu kendaraan berhenti, tapi bisa mencapai empat atau lima. Parahnya lagi, beberapa dari mereka akan berdiri di tengah jalan dan menyebabkan kemacetan.
Seharusnya ini menjadi tugas bagi kita semua. Menutup kesempatan bagi opera jalanan yang senantiasa menyuguhkan topeng-topeng penggugah rasa. Berharap mereka yang telah memiliki harta yang lebih dari cukup untuk membuka usaha dan berhenti berkeliaran di jalanan. Bukankah hal ini jauh lebih baik, peluang kerja bisa bertambah dan kemacetan akan berkurang.

Surga yang telah Mati



Tanah kami tanah surga"
Kalimat itu telah mati puluhan tahun silam
Tak ada damai kini
Hanya sandiwara dengan naskah yang tersusun rapi

Mereka…
Berpura-pura mengagungkan Tuhan
Namun begitu besar mendambakan kekuasaan
Mencari celah untuk kursi tertinggi
Tak peduli apa pun caranya

Mereka…
Seolah peduli dengan sesame
Menjanjikan kebahagiaan
Yang akan terkubur seiring tumbuhnya ketamakan

Mereka…
Bertopeng kebajikan dengan tatapan teduh
Hanyalah mengumbar omong kosong

Mereka…
Merekalah yang merenggut “tanah surga” kami

Kue untuk Ainun



18 Desember 2013, penelitianku memasuki minggu ketiga. Dua hari yang lalu aku mencoba untuk menelepon contact person sebuah toko elektronik yang sudah berkali-kali dicari alamatnya tapi tak kunjung ketemu jua. Toko itu juga salah satu tempat yang akan menjadi objek penelitianku.
Nada tut hanya berbunyi dua kali disusul kata “Halo” oleh suara di seberang sana. Mulailah aku memperkenalkan diri, namun keributan dari seberang sana lebih mendominasi sehingga suaraku lenyap olehnya. Aku diam, menunggu si pemilik suara mematikan teleponnya. Terasa tidak sopan jika aku mematikan teleponnya lebih dulu, meskipun aku yang melakukan panggilan tersebut. Masih jelas terdengar kata ‘Apa? Aku tidak bisa mendengarkan suara Anda dengan baik? Siapa di sana?’ sebelum teleponnya benar-benar dimatikan.
Aku mencoba mengirimkan pesan singkat, hanya menyebutkan nama, asal, juga tujuan. Tak berapa lama balasannya datang, lengkap dengan alamat kantornya. Aku membalasnya kemudian dengan ucapan terima kasih.
Beberapa jam kemudian ia menelepon. Panggilan pertama tidak kuterima, telat kulihat. Aku juga tak menelepon balik. Menurutku aku tak memberikan pertanyaan apa pun, kupikir ia hanya salah tekan tombol saja. Selang beberapa menit, panggilan kedua datang. Tanpa pikir panjang, teleponnya kuangkat. Datang ke rumah sebelum jam 3. Itu pesannya. Tak lupa diberikannya sebuah alamat rumah. Warnet Ainun, katanya.
Adzan baru saja dikumandangkan ketika aku tiba dirumahnya. Sebuah rumah panggung kecil, satu hal yang membuatku cukup ragu untuk mengetuk pintu rumahnya. Benarkah ini alamat yang diberikan tadi??? Hanya beberapa jenak setelah pintu diketuk seorang pria membuka pintu. Pasti ini orangnya, pikirku.
“Saya orang yang tadi nelpon, Pak!”
“Oh, mari silakan masuk!”, ia tersenyum ramah.
Hanya ada beberapa kursi di sana. Aku tak yakin jika penghasilannya tak cukup untuk memiliki rumah yang jauh lebih bagus dibanding apa yang dia miliki sekarang. Aku menyerahkan kuesioner beserta surat pengantar. Ia membacanya sebentar, kemudian mengisi kuesioner tersebut. Sembari mengisi lembaran itu, ia bercerita banyak. Bukan hanya tentang sistem yang menjadi titik fokus penelitian, tetapi juga tentang rendahnya kualitas pendidikan. Ia peduli tentang kemampuan para sarjana yang hanya terbatas pada teori saja (bahkan ada pula yang hanya bermodalkan ijazah, buta akan teori). Aku melihat biodata yang diisinya. SMA??? Aku kaget bukan main. Lulusan SMA bisa jauh lebih baik dibanding seorang sarjana.
Esoknya aku ke sana lagi untuk mengambil surat penelitian yang telah dicap atas nama kantornya. Lima belas menit aku berdiri di depan pintu hingga seorang ibu-ibu paruh baya membukanya. “Masuk nak!”, ucapnya sembari memanggil seseorang.
Seorang wanita keluar lagi. Istrinya mungkin, dugaku. Benar saja. Tapi ternyata surat yang dijanjikan lupa dititip. Katanya lagi ‘kalau mau tunggu boleh, tapi sekitar sejam lagi Bapak pulang’. Waktu yang cukup lama. Gerimis mulai membasahi bumi. Terlambat sepersekian detik saja, hujan bisa membuat kuyup. Dan bukan kondisi yang tepat karena aku sedang membawa beberapa map kertas tanpa bungkusan. Alhasil, kuputuskan untuk pulang dan kembali esok hari.
“Gak papa kan kalo besok saya ke sini lagi?”, tanyaku setengah tak enak hati padanya.
Si ibu malah tersenyum, “Datang tiap hari juga gak papa”.
Aku akhirnya pamitan. Saat di angkutan umum, teleponku bergetar. Panggilan dari nomor tidak dikenal. Aku paling ogah sama nomor baru, jadi telepon tersebut kudiamkan saja. Lama aku baru tersadar, takutnya yang menelepon adalah Bapak yang kemarin. Dan benar saja, ketika panggilan kedua kuterima Bapak tersebut menawarkan untuk menitipkan surat pada karyawan kantor yang katanya tinggal di sekitar rumah. Aku menolak, sungguh akan lebih merepotkan lagi jika surat itu kutitip. Belum tentu juga karyawan yang dimaksud akan ikhlas menolong.
Sampai di rumah, aku termenung. Haru meliputi jiwaku. Orang-orang baik seperti mereka sungguh sudah jadi barang langka di dunia ini. Tak akan ada yang benar-benar tulus memberikan bantuan. Oleh karena itu, aku berniat untuk memberikan kue untuk Ainun sebagai ucapan terima kasih.
Pagi ini aku sudah siap berangkat. Rencana sudah terpikir matang, beli kue lalu ke rumah Ainun, juga kegiatan lain. Pukul 10 pagi aku sudah diambang pintu, namun gerimis turun. Membuat langkahku harus mundur.
Hujan berlangsung hingga sejam kemudian. Aku buru-buru berangkat. Langit masih mendung sehingga gas terus tertancap. Sampai di sana aku baru ingat sesuatu, Kue untuk Ainun. Aku telah mengetuk pintu, tidak mungkin aku pergi begitu saja. Apalagi pintu rumah terbuka lebar. Akan menimbulkan kecurigaan jika aku pergi begitu saja. Bapak tersebut muncul dengan surat di tangan. Aku meraihnya dan berucap terima kasih sekali lagi lalu pamit.
Penyesalan menyelimuti, niat untuk memberikan kue untuk Ainun akhirnya tidak dilakukan. Tapi kuenya akan kuganti dengan doa, semoga Ainun dan keluarga diberikan yang terbaik olehNya. Aamiin.