18 Desember 2013, penelitianku memasuki
minggu ketiga. Dua hari yang lalu aku mencoba untuk menelepon contact person sebuah toko elektronik
yang sudah berkali-kali dicari alamatnya tapi tak kunjung ketemu jua. Toko itu
juga salah satu tempat yang akan menjadi objek penelitianku.
Nada tut
hanya berbunyi dua kali disusul kata “Halo” oleh suara di seberang sana.
Mulailah aku memperkenalkan diri, namun keributan dari seberang sana lebih
mendominasi sehingga suaraku lenyap olehnya. Aku diam, menunggu si pemilik
suara mematikan teleponnya. Terasa tidak sopan jika aku mematikan teleponnya
lebih dulu, meskipun aku yang melakukan panggilan tersebut. Masih jelas
terdengar kata ‘Apa? Aku tidak bisa
mendengarkan suara Anda dengan baik? Siapa di sana?’ sebelum teleponnya
benar-benar dimatikan.
Aku mencoba mengirimkan pesan singkat, hanya
menyebutkan nama, asal, juga tujuan. Tak berapa lama balasannya datang, lengkap
dengan alamat kantornya. Aku membalasnya kemudian dengan ucapan terima kasih.
Beberapa jam kemudian ia menelepon. Panggilan
pertama tidak kuterima, telat kulihat. Aku juga tak menelepon balik. Menurutku
aku tak memberikan pertanyaan apa pun, kupikir ia hanya salah tekan tombol
saja. Selang beberapa menit, panggilan kedua datang. Tanpa pikir panjang,
teleponnya kuangkat. Datang ke rumah sebelum jam 3. Itu pesannya. Tak lupa
diberikannya sebuah alamat rumah. Warnet Ainun, katanya.
Adzan baru saja dikumandangkan ketika aku
tiba dirumahnya. Sebuah rumah panggung kecil, satu hal yang membuatku cukup
ragu untuk mengetuk pintu rumahnya. Benarkah
ini alamat yang diberikan tadi??? Hanya beberapa jenak setelah pintu
diketuk seorang pria membuka pintu. Pasti
ini orangnya, pikirku.
“Saya orang yang tadi nelpon, Pak!”
“Oh, mari silakan masuk!”, ia tersenyum
ramah.
Hanya ada beberapa kursi di sana. Aku tak
yakin jika penghasilannya tak cukup untuk memiliki rumah yang jauh lebih bagus
dibanding apa yang dia miliki sekarang. Aku menyerahkan kuesioner beserta surat
pengantar. Ia membacanya sebentar, kemudian mengisi kuesioner tersebut. Sembari
mengisi lembaran itu, ia bercerita banyak. Bukan hanya tentang sistem yang
menjadi titik fokus penelitian, tetapi juga tentang rendahnya kualitas
pendidikan. Ia peduli tentang kemampuan para sarjana yang hanya terbatas pada
teori saja (bahkan ada pula yang hanya bermodalkan ijazah, buta akan teori).
Aku melihat biodata yang diisinya. SMA???
Aku kaget bukan main. Lulusan SMA bisa jauh lebih baik dibanding seorang
sarjana.
Esoknya aku ke sana lagi untuk mengambil
surat penelitian yang telah dicap atas nama kantornya. Lima belas menit aku
berdiri di depan pintu hingga seorang ibu-ibu paruh baya membukanya. “Masuk
nak!”, ucapnya sembari memanggil seseorang.
Seorang wanita keluar lagi. Istrinya mungkin, dugaku. Benar saja.
Tapi ternyata surat yang dijanjikan lupa dititip. Katanya lagi ‘kalau mau tunggu boleh, tapi sekitar sejam
lagi Bapak pulang’. Waktu yang cukup lama. Gerimis mulai membasahi bumi.
Terlambat sepersekian detik saja, hujan bisa membuat kuyup. Dan bukan kondisi
yang tepat karena aku sedang membawa beberapa map kertas tanpa bungkusan.
Alhasil, kuputuskan untuk pulang dan kembali esok hari.
“Gak papa kan kalo besok saya ke sini lagi?”,
tanyaku setengah tak enak hati padanya.
Si ibu malah tersenyum, “Datang tiap hari juga
gak papa”.
Aku akhirnya pamitan. Saat di angkutan umum,
teleponku bergetar. Panggilan dari nomor tidak dikenal. Aku paling ogah sama
nomor baru, jadi telepon tersebut kudiamkan saja. Lama aku baru tersadar,
takutnya yang menelepon adalah Bapak yang kemarin. Dan benar saja, ketika
panggilan kedua kuterima Bapak tersebut menawarkan untuk menitipkan surat pada
karyawan kantor yang katanya tinggal di sekitar rumah. Aku menolak, sungguh
akan lebih merepotkan lagi jika surat itu kutitip. Belum tentu juga karyawan
yang dimaksud akan ikhlas menolong.
Sampai di rumah, aku termenung. Haru meliputi
jiwaku. Orang-orang baik seperti mereka sungguh sudah jadi barang langka di
dunia ini. Tak akan ada yang benar-benar tulus memberikan bantuan. Oleh karena
itu, aku berniat untuk memberikan kue untuk Ainun sebagai ucapan terima kasih.
Pagi ini aku sudah siap berangkat. Rencana
sudah terpikir matang, beli kue lalu ke rumah Ainun, juga kegiatan lain. Pukul
10 pagi aku sudah diambang pintu, namun gerimis turun. Membuat langkahku harus
mundur.
Hujan berlangsung hingga sejam kemudian. Aku
buru-buru berangkat. Langit masih mendung sehingga gas terus tertancap. Sampai
di sana aku baru ingat sesuatu, Kue untuk Ainun. Aku telah mengetuk pintu,
tidak mungkin aku pergi begitu saja. Apalagi pintu rumah terbuka lebar. Akan
menimbulkan kecurigaan jika aku pergi begitu saja. Bapak tersebut muncul dengan
surat di tangan. Aku meraihnya dan berucap terima kasih sekali lagi lalu pamit.
Penyesalan menyelimuti, niat untuk memberikan
kue untuk Ainun akhirnya tidak dilakukan. Tapi kuenya akan kuganti dengan doa, semoga Ainun dan keluarga diberikan yang
terbaik olehNya. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar